Sunday, January 15, 2012

Setelah Kau Menikahiku #Last


 Part 3 (Selesai)

“Selamat ulang tahun, Pit.”

Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!”

“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi  tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.


“Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!” 

Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu,  satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja.
 
Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.

Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Puisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.

“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.

“Apa?”

“Hadiahku.”

Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.

“Kau tidak menemukannya? ” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.

Aku menggeleng.

“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah. “Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”

Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan.

“Terima kasih.”

“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa.

Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin. Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum penuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut. Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.

Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun. Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.

Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat.

Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. “Kaudatang.”

“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapapun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.

“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya. “Kau masih ingat.”

“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.

“Kapan kau pulang?”

“Tadi pagi.”

“Dengan anak istrimu?”

Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.” Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa.

“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,” senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu. “

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.

“Kau sendiri bagaimana, Ta?”

“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?

“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”

“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan “ya”? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa? Ia menggeleng.

“Aku hanya memintamu memilih.” Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, “Kau sudah menikah?”

Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup. “Siapa?” tanyanya lirih.

“Idan,” jawabku kaku.

“Idan? Irdansyah temanmu?”

“Sahabatku.”

“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”

Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.

Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.

“Aku…,” dibukanya kotak itu. “… Aku sendiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….” Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku terkesima.

“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.

“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”

“Kau suka?”

Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. ” Kau….Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku keluar dengan susah payah.

“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu, ” ia tertawa kecil.

“Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.”

Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia?Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak . Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya

Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri dihatiku. Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri.
Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik….”

Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenak kemudian.

“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.

“Baiklah. Mau kuantar?”

“Aku ada mobil.”

Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”

Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya. Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup. “Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman di sini.”

“Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Dibelakangnya ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”

Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. 

Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya? 

Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?

Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian. Aku memikirkanmu. Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku?

Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan. Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai?Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.

Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat kantorku.”

“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”

Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba bertanya.

“Kenapa kau menikah dengan Idan?”

“Kenapa kau bertanya?”

“Seingatku, ia bukan tipemu.”

Aku tertunduk.

“Kenapa, Ita?”

“Idan mencintaiku ,” bisikku pelan.

“Apa kau mencintainya. “

Kebisuanku mem berinya jawaban.

“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.

Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”

“Jangan berbohong.”

“Idan suami yang baik.”

“Tapi apa kau bahagia?”

Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?

“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”

“Setahun.”

“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan….”

“Stop.” Aku bangkit dan meninggalkannya.

Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?

Kartu itu bergetar ditanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.

“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada apa?”

“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.”

Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.

“Idan.”

“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”

“Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku — walaupun hanya simulasi — bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.

“Ya?” desak Idan.

“Aku…. Idan, kau kenal Indri, kan?”

“Sekretarismu? Tentu.”

“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”

“Lalu?”

“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan sibekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”

“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”

“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.”

“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”

Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dialakukan. Aku tak bisa menjawab.”

“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana,

“Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan kembali di telepon.

“Karena kau yang membuatkan kopi?”

“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan. “

“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan? “

“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.”

“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.”

“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”

“Keadaan.”

“Maksudnya?”

“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orangtuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”

“Astaga. Kasihan sekali.”

“Jadi bagaimana?”

Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”

“Lantas aku mesti bilang apa?”

“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”

“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.

“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.”

“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”

“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”

Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.”

“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sed ikit jauh dari telepon. “Iya, Pak, sebentar. Istri saya ….”

Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.

Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.

“Kenapa? Idan melarangmu?”

“Dia tidak tahu apa-apa.”

“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?” Kugigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.

“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”

“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.

“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali denganku.”

“Aku tidak bisa ….”

“Kenapa tidak?”

Ya, kenapa tidak.Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?

“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain.”

“Aku ….”

“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir.”

Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan mataku. 

“Aku tidak mencintaimu, ” gumamku.

“Lebih keras lagi.”

“Aku tidak mencintaimu. “

“Kau berbohong.”

Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, “Ya.”

“Ita,” suara Pram gemetar.
“Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia.”

Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku. 

Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. 

Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan?

Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. 

Pram tidak bisa mengerti itu. “Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”

“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi … Entahlah.”

“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”

“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.

“Jadi, bicaralah dengan Idan.”

Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.

“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.

Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam rumah.

“Ada apa?”

“Sst!”

Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya. Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar…  mawar putih?

“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,” katanya.

Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.

“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”

Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri,” katanya.

Ia duduk diayunan itu. “Ayo,” katanya sambil menarik tanganku. Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak mengingatnya?

Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.

“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal,” teguran Idan membuyarkan renunganku. “Ada apa?”

Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”

Dahinya berkerut. “Pram?”

“Pacarku yang pergi ke Jerman.”

“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”

“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”

Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. “Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku bicara.

Aku menggeleng.

“Lalu?”

“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai.”

“Oh.” Idan tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, “Kau yakin ia mencintaimu?”

Aku mengangguk.

“Kau yakin akan bahagia dengannya?”

Sekali lagi aku hanya mengangguk.

“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar hangat. “Aku ikut bahagia.”

Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku. Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.

“Dan?” tegurku.

“Ya?”

“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku.”

Malam itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku.

“Pit, bangun!”

“Ada apa?” gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.

“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”

Aku terlonjak duduk. “Apa?”

“Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.

Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. “Kapan?”

“Baru saja.”

“Di?”

“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”

“Idan ….” Ia membanting pintu kamar di depanku.

Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.

“Dan, aku sudah siap.” Tidak ada jawaban.

Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya.

Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis. Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.


Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku. “Pit, bawa Idan pulang.”

“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”

Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.

Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya. 

Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.

“Aku mau pulang, Dan, ” ujarku sambil memegang tangannya. Ia menggeleng pelan.

“Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja.”

“Aku tidak mau sendirian di rumah.”

Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik, 

” Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun.”

Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa kukatakan kepadan ya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk mengakhiri pernikahan ini secepatnya?

Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.

“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”

“Nanti saja. Aku tidak lapar.”

“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?”

Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
“Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan lama.”

Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan. 

Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.

Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit  menenangkannya, dan lambat laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. 

Tapi tiba-tiba saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya yang menggigil.


“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka ….”

“Aku tahu. Tidak apa-apa ,” tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya. “Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.” Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya.

Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik. Dihirupnyasedikit teh yang kubawa.Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya,

Ia memegang tanganku.

“Terima kasih.”

“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”

“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan,” ia tersenyum nakal.

“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.

“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius.  “Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. “

Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, “Aku yang mesti berterima kasih kepadamu.”

“Untuk apa?”

“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu. “

Idan tersenyum kecil. ” Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih.”

“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.

“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini,” katanya.

“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. 

Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas, dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah.”

“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?” tanyanya dengan mimik lebih serius.

Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhir nya. “Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama.”

Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.

“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.

“Kau sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?”

“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi.”

Aku tertegun. “Apa maksudmu?”

Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. 
“Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat.”


Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.

” Aku masih belum mengerti,” bisikku.

“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”

“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.

“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”

“Kau … kau tidak pernah ….”

“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”

“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan caramu sendiri.”

Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”

Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang  kau inginkan?” tanyaku datar.

Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya.
 “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepada mu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”


Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan. “

Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”

Lama kami berdua saling berpandangan.
“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan airmataku di bahunya.

“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini.”



“Berapa lama?”

“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”

“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”

“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku.”

“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?”

Aku menghela napas panjang. “Entahlah, Pram, ” bisikku.

“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.

“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita.”

“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik- baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”

“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”

“Tapi kau tidak bahagia!”

“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia.”

“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini.”

“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”

“Ita, kau tidak mencintainya! “
 
“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”

“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu? “

“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”

“Lantas apa yang membuatmu berubah piki ran secepat ini?”

“Idan mengajariku tentang cinta.”

“Hanya karena itu?”

“Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya.”

“Ita ….”

“Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi.” Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

“Upit.” Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.

“Kenapa?” tanyanya. Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.

“Aku tak bisa melihatmu begini ,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?”

Aku mengangguk.

“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.”

Aku mengangguk.

“Kau akan menyesal.”

Aku mengangguk.

“Kau akan sedih, kecewa ….”

Aku mengangguk.

“Kau tidak mencintaiku. “

Aku menggeleng.
Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan.
“Idan!”

Tamat
Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003

No comments:

Curhat nya Pengamat Media Sosial

Saya mengamati banyak hal, selain tentang buku-buku nya Ika Natassa yang akan dijadikan film, nama teman-teman yang berubah menjadi nama...