Part 2
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar
Daud dengan mas kawin tersebut, tunai.” Dan wajahnya kelihatan sedikit
pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga berjam-jam dalam
gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang nyalang nyaris
sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu
Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia.
Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan
orang-orang lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam
mencatat seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para
tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu. Pak Penghulu menyuruhku
menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu. Suami baru
simulasi.)
Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya gemerlapan
dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia
mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami
berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan
menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain
batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, “Kau pucat sekali.”
“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”
“Terlalu nervous?”
“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”
Aku tersenyum.
“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.
“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi.
Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku.” Ah, Idan, Idan. Menikah
dengannya tidak akan pernah membosankan. Simulasi. Menikah simulasi
dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan –simulasi– kulewatkan di rumahku
sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi
ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena
ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikah anku dengan Idan.
Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah
seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam
itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku
menemukan Idan di sana , sedang mendadar telur, sementara di atas meja
terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
“Aku ada rapat pukul se tengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”
Kucicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Pramuka,” komentar Idan ter senyum.
Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga
pandai tali-temali, semafor, menjahit.”
“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”
Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi.”
“Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu.”
“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar berbeda.”
“Jadi?”
Idan menggaruk kepalanya.
“Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya.“Aku punya rice cooker.”
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku
berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan. Tidakkah Idan akan jadi
besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak, kalau aku
benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin
ada baiknya aku mengikuti keinginannya.
“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan
kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di
kalender yang tergantung di dinding dapur. “Hari pertama kita
menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,” katanya saat
kembali ke kursinya.
“Masih banyak detil-detil seperti ini
yang mesti kita sepakati,” lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri
tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa?”
“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.”
“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”
“Itu terlalu banyak untukku.”
Idan meletakkan sendoknya dan me natapku
dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku melihatnya marah.
Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia
benar-benar marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak untuk mengaturku seperti itu.”
Ia menunduk lama sekali, tangannya
terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu menjadi sangat
sunyi senyap.”Baik. Kalau itu maumu,” desisnya kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku
ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga permainan itu akan
membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak berani
mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya. Idan
meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk
bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan.
“Aku pergi, Pit,” katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya ,
berniat untuk memperbaiki situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan
ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan enempelkannya di
bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus
mencium keningku.” Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya
yang terkatup dan berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Dasar tidak
tahu terima kasih!
Aku sengaja pulang terlambat malam itu.
Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang belum pernah
kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian untuk
menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkankawan-kawan
yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari. Perasaanku gundah. Rasa
bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah banyak
berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin
mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa
aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya
masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu
banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil
yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad nikah. Ini hanya
permainan, batinku. Tapi dalampermainan ini, Idan adalah suamiku. Dan
sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan
keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan.
Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari
semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan.
Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak
marah-marah dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah
gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua belas malam dan Idan belum
pulang? Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox.
Dengan menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi
ibu mertuaku, kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak
kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana. Inikah balasannya
atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam,
aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak kembali. Ia
bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam lebih
awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di rumah, Idan
tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk
menghubungi polisi dan rumah sakit. Pukul tiga telepon berdering.
Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku saat aku mengangkat
receiver.
“Upit?”
“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”
“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?”
“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di pipiku. “Kau di mana?”
“Di luar.”
“Di luar rumah?”
“Ya. Dan aku lapar.”
“Oh, Tuhan….” Aku lari ke luar rumah. Di
gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah sudah berapa lama
ia di sana. “Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor
polisi!” teriakku kepadanya.
“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.
“Di mana saja kau dua hari ini?”
“Di hotel kecil dekat kantor.” Ia baru
saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia
tidakberkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan
kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
“Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk
pulang?” suaraku bergetar. “Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu.
“Laundri hotel mahal sekali.”
Saat ia mencuci piring makannya, dengan
punggungnya ke arahku, ia menyambung, “Selain itu , aku khawatir karena
kau sendirian di sini.” Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.
“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur. Dikejar deadline.”
Ia berhenti membilas piring dan aku tahu
ia berbalik menatapku. Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
“Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”
“Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.
Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan
membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di ruang tamu. Aku
bisa memaklumi kegemarannya nonton film action genre yang paling tidak
kuminati, dan sepak bola olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku
bahkan bisa memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan
memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa
kulakukan. Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya
menghabiskan akhir pekannya.
Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum
pukul enam untuk bermain sepakbola dengan teman-temannya, dan sorenya,
sekitar pukul setengahempat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu
menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain,
dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir
dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa
kupahami. Aku tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya
memancing, karena aku dengan sangat cepat akan merasa jemu. Sebulan
pertama aku berusaha mengerti . Ia selalu pulang dengan mata berbinar
hingga aku tak tega mengeluh dan protes.
Tapi di pekan kelima kesabaranku tandas,
dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak
rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing.
“Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.
“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.
“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke manapun.”
“Aku tidak bisa mangkir memancing hari
ini, Pit,” ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu
bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat
memancing baru.”
“Kau bisa mencobanya minggu depan.”
“Tadi malam tidak ada bulan, Pit.
Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,” ia tersenyum sambil
melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku bisa memecahkan rekor
sepuluh kilo sore nanti!”
“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya
ringan sambil mulai lari-lari di tempat. “Berapa diskon yang kau dapat
dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?”
“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”
“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.”
“Oh, Tuhan!”
Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di
hadapanku dengan tangan di pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini.
Tidak perlu ke salon lagi.”
“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan,
terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas harianku, dan
aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan. “
“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.”
“Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu. “
“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”
Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”
“Ya!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepakbola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepakbola dan lebih benci lagi memancing!”
Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.
“Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”
“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku
masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua
puluh empat jam waktuku, apa kau tidak bisa memberiku…”
“Enam kali dua puluh empat? Enam kali
dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan
dan satu jam waktu makan malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau
kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih
memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan
Flamingo…”
Flamingo…”
“Placido Domingo! Maaf, Dan, waktuku
terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh
tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!”
“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek airmata itu!”
“Kau kekanak-kanakan! “
“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!” Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping.
Aku masuk ke ruang makan dan membanting
pintu di belakangku. Seperti inikah perasaan para istri setelah
bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci
menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku
sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu
Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku
tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban
banyak sekali sejak aku menikah–simulasi–dengannya, mengurangi jadwal
clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa
ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama
banyaknya untukku ? Tidak! Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak
es krim cokelat kesukaanku.
Pagi itu kulewatkan di depan televisi,
menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti,
dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa. Idan kembali pukul
setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama
kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana
jins.
“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,”katanya.
“Aku tidak mau pergi ke mal.”
“Kau bilang tadi pagi….”
“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.”
“Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji jam empat…”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau.”
“Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”
“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”
Wajah Idan benar-benar merah sekarang.
“Upit! Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi
jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini.
Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi.”
“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi.”
“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di
sini seharian, makan es krim dan cokelat sambil mengasihani diri
sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar…”
“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es
krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah
mencair melumuri t-shirtnya.
Aku lari ke kamarku, membanting pintunya
dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan. Kudengar ia memaki dan
menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia seperti telah
menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan
mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis
hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku
tertidur kelelahan.
Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan
pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku
masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah
kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali
meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku
segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor. Saat itu Idan
datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki
pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari
pintu kamar yang terkuak.
pintu kamar yang terkuak.
“Apa-apaan ini, Pit? ” tanyanya.
“Aku pulang ke rumah Ibu.”
Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah ini kau menyerah?”
“Ini diluar dugaanku.”
“Apa?”
“Aku tidak mengira aku menikahi monster.”
Idan terdiam, menunduk. “Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”
“Aku sudah terlalu gemuk.”
Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah, “Tidak. Kau cantik.”
“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa.”
“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”
“Kau gagal.”
“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil…. “
“Simulasi.”
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”
“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan
terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil
keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi
denganmu.”
Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali.
Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua
topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan
bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit
menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku
keluar.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.
“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”
Aku tak peduli hujan yang serta merta
mengguyurku basah kuyup Saat aku membuka pintu gerbang. Meninggalkan
Idan secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika mobilku
mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari
rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil
dan menendang pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman
hujan. Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia
mencabut kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
“Ayo pulang,” katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap
wajahnya. Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan
perlawananku. Ia membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan
untuk melarikan diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan
kuncinya di saku.
“Ganti bajumu,” katanya.
“Semua bajuku di dalam kopor.”
“Ambil bajuku.”
“Tidak akan pernah!”
Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan
menatapku lurus dengan mata berkobar,”Ini bukan waktunya melawanku,
Pit. Kau bisa sakit!”
“Monster,” desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak naik,
kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan
menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang.
Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa
menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah
itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam
kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan
tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan
menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi
burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di
lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan
tangannya erat menggenggam jemariku. Hingga akhirnya, entah setelah
berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah
padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos
masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah
duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku. “Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan
bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya dimana aku sekarang atau
setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus
tentang Idan? Rutukku pada diri sendiri.
” Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta
merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama
sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air
mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya.
“Bagaimana, Bu?” tanyanya, suaranya
mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku,
sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh
leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku
yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”
Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai
memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan
berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku
sambil terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau
tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci,
membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?”
“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”
Ibu tertawa lagi, “Idan, Idan. Kau mesti
istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu
sesabar kau merawat dia.” Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma
simulasi pula!
“Sudah tanggung jawab saya, Bu.” Alangkah klisenya!
Sunyi.
“Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal
menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah
masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan
membuat malam itu mimpi buruk untuknya. Aku ingin menghukumnya karena
kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena
ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku
benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa
lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi.
Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci
padanya. Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu.
Aku memberontak saat ia mencoba
menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat. Aku memintanya
membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku
kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali.
Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi
instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai,
mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan
memasakkan omelet yang hanya kucuil sedikit. Pijatannya dikakiku
terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia
mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan
televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai
mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat puas
kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan
memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh, tidak
membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin
menyadari kelembutan dalam suaranya yang hanya bisa lahir dari
kekhawatiran dan kelelahan di matanya yang aku tahu hanya bisa datang
dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia
juga tengah menyalahkan dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri,
mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan kebencianku justru musnah
dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan, tapi tak
bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya
tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran yang
menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang
kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi
hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku
dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa
terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku
sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan
menemaniku ke manapun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena
mengobarkan pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati
untukmenyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam
dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes
kedewasaan ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Idan
menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke
kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku untuk tidak
mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku
tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan
pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga
saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.
Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku
telah rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku
telah diganti dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku,
menambahkan gula pada susu cokelatku dan mengupaskan telur sarapan
pagiku, aku hampir menangis karena terharu.
“Kau tidak ke kantor? ” tanyaku mencoba
membuka percakapan; kata-kata ramah pertama yang kuucapkan padanya
setelah pertengkaran kami.
“Ini hari Minggu, Pit.”
“Aku sudah sakit selama seminggu ?” bisikku tak percaya.
“Ya,” Idan tersenyum. ” Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu. “
“Ibuku kan di sini.”
“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan
di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi.
“Tidak main bola?”
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong
roti lagi dengan selai nenas. “Aku mau memberi kesempatan pada Agus.
Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku cadangan.”
Aku tersenyum.
“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.
“Kau mau pergi memancing nanti sore?”
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus memberi ke sempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus, mereka bisa punah.”
“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.”
“Terima kasih untuk apa?”
Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan
yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi yang keluar dari mulutku
adalah, “Karena meminjam kan mu untukku hari ini.”
Senyum Idan serta merta surut.
Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. “Lain kali kalau kau
ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya?
Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan
teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?”
Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
“Aku juga janji tidak akan sering nonton
film action lagi,” katanya kemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih
sering. Jangan menangis, Pit. Nanti air jerukmu asin.”
Bersambung .....
No comments:
Post a Comment